Sketsa Jiwa

Usai shalat magrib, almatsurat dan tilawah ayah berdiri di belakangku sambil memegang kepalaku dari belakang, seperti ingin membelai. Oh Ayah,, mungkin kau tengah merasakan segala yang terjadi pada diriku. Ya Ayah, kau tahu bahwa aku sedang kehilangan sesuatu yang selama ini berarti dalam hidupku, sesuatu yang selama ini ku miliki, rasanya perih akan kehilangan itu. Didunia ini hanya Ayah, ibu, kakak, juga seorang teman (biasa ku sebut Nazi) yang mengetahuinya.
Tenang saja ayah, aku tak kan menangis lagi. Mungkin lebih tepatnya tidak menangis di hadapanmu. Ayah, Ibu, kalianlah yang ku punya saat ini. Tempat ku mengadu selain Allah. Bukankah sekarang aku telah tumbuh dewasa? Tangisku tak lagi meledak – ledak seperti dulu ketika seekor angsa peliharaanku hilang ataupun mati. Tangisku tak lagi meledak seperti dulu, ketika aku gagal mendapat beasiswa malanjutkan sekolah di Bakrie school. Tangisku tak lagi meledak seperti dulu, ketika berebut mainan dengan kakakku. Ya, tangisku tak seperti dulu, karena aku bukan Ratih yang dulu, yang kemana saja harus dengan ibu, ditemani, dan dimanja. Sejak Ibu sakit sekitar 4 tahun yang lalu aku belajar mandiri, memaksakan diri untuk dewasa meski belum waktunya. Hanya saja aku bukan malaikat yang tak pernah terluka, aku tetaplah manusia, seorang wanita yang memiliki rasa yang halus. Ketika sesuatu melukaiku tak tahan airmata jatuh begitu saja, bahkan seringkali ku endapkan wajah di balik bantal agar tak satu pun anggota rumah yang mendengar dan mengkhawatirkanku, termasuk engkau Ibu, Ayah. Tapi mencurahkan segalanya pada mereka adalah hal melegakan, bahkan mereka mungkin mendoakan agar masalah itu bisa ku hadapi dengan tegar dan menggantikan sesuatu yang hilang itu dengan yang lebih baik. Dan kuharap begitu adanya.
Mulai sekarang aku janji padamu Ayah, tak kan menangis lagi. Aku adalah wanita yang tegar, dan yakin akan sebuah kebaikan yang di janjikanNya. Mulai sekarang aku janji padamu Ibu, aku tak kan sedih lagi meski kehilangan sesuatu yang berarti. Aku adalah anak Ibu yang kuat. Hanya saja beri aku waktu tuk memulihkan segala kepedihan ini, biarkan aku sendiri, usah membahas segala yang telah terjadi. Biarkan aku mengikis masa kelabu ini dengan kerja kerasku, dengan segala kesibukannku. Terma kasih atas segala doamu Ibu, aku yakin Allah yang maha penyayang selalu mendengar doamu, doa kita semua.

ELANG, CARMO DAN KAWAN – KAWAN

Seperti biasa setiap dua pekan FKRM mengadakan KISAH (kajian intensif setiap ahad) dan kebetulan aku mendapat amanah membawa materi mengenai strategi menghadapi ujian. Sobat, kajian hari ini sungguh berbeda, biasanya pesertanya SMA dan dalam pikiranku akan membawa materi anak kelas 3 SMA yang akan menghadapi ujian nasional sehingga sedari malam ku persiapkan materi menghadapi ujian plus memilih dan menghadapi pilihan pasca SMA, antara kuliah ataupun bekerja.. namun ternyata di luar dugaan yang datang semua pesertanya anak kelas 2 SMP. Wah aku sempat bingung bagaimana cara membahasakan ke mereka agar mudah di mengerti, khawatir akan kata – kata sulit seperti spesifik, signifikan dan lain- lain. Secepat kilat ku memutar otak agar semua berjalan lancar.
Tiba – tiba ketika materi hampir selesai kulihat salah satu dari mereka ada yang menangis, ada apa? Apakah tampangku serem? Ah masa sih orang imut gini kok serem? (pede.com).
“ Ada apa dek kok nangis? Namamu siapa? ”
“ Nama Elang. Dorang ada tarek – tarek ta pe baju kong dorang tempel tai idong hikz hikz”
“ Hahaha, burung elang dia kak! “
Haduh ada – ada aja ni anak SMP mmhh…
“ Wah namanya Elang keren jangan nangis lagi ya, ayo Carmo dan lainnya minta maaf sama Elang.” (Kok jadi kayak guru TK? *_*)
“ Hahaha, manangis dia” sahut Carmo dkk
….. Dan seterusnya hingga acara selesai. Aku tertawa terbahak melihat tingkah mereka. Sebelum materi di mulai sempat terasa lemas karena lelah mengikuti berbaga kegiatan dari pagi namun melihat kedatangan dan wajah anak – anak itu seperti ada kekuatan tuk segera beranjak membawa semangat luar biasa untuk mereka untuk dakwah.
Keep hamasah..
one down, one more to go..