Rasa..

Butiran air yang mengkristal di ujung mata perlahan jatuh satu – satu tanpa mampu ku bending, menitikkan tetesan hangat dipipi hingga jatuh sampai ke dasar hati..
Aku menangis tanpa tahu apa sesungguhnya penyebab kesedihan ini. Inilah hati, inilah jiwa yang dipenuhi warna. Rasa memang tak perlu definisi, karena tak seorang pun mengerti apa itu kebahagiaan hakiki, apa itu kesedihan abadi. Seringkali spekulasi manusialah yang merangkai pernyataan akan sebuah definisi yang semu. Kita hanya bisa menjabarkan rasa dalam ekspresi senyum dan menangis, mungkin. Lantas bagaimana bisa semua itu terbaca dalam ekspresi yang pada kenyataannya hanya direkayasa oleh pelaku itu sendiri. Kita sering tersenyum padahal hati sedang berontak, atau sebaliknya. Terkadang logika kita pun tak bisa membedakan mana kesedihan atau kebahagiaan yang sesungguhnya karena terlalu banyak melakukan rekayasa ekspresi.
(09 Agustus 2012)

Antologi Curahan Hati Untuk Tuhan

Alhamdulillah naskah antologi saya sudah terbit, semoga bisa menjadi inspirasi teman2 dan bisa menambah semangat dalam menulis. Yang pasti, saya berharap apa yang saya tulis dapar bermanfaat dunia, akhirat, untuk dakwah…
“Mengukir peradaban dengan goresan pena, semangat!”..

Ni dia tulisannya:
Impianku Harapanku
Duhai Allah, izinkan hamba menguraikan bait kata yang mewakili isi hati, agar dapat terdefinisi segala rasa yang selama ini menjadi keresahan jiwa yang hanya terendap dalam ruang pikiran. Maka saat ini dengan untaian kalimat per kata akan kutumpahkan semua harapan dan asa yang kubingkai dalam sebuah impian.
Ya Allah, saat ini begitu banyak pilihan dan ujian yang tengah kuhadapi. Semakin bertambahnya angka usia dan tingginya ilmu pengetahuan yang sedang ku timba, maka semakin berat beban yang menuntut kedewasaan juga kemampuan diri dalam menyelesaikan semua masalah. Saat pertama menginjakkan kaki di kampus, aku begitu yakin dan percaya tentang impian yang telah ku bangun sejak sekolah menengah. Ya, impian untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus kuliah ini, yakni program S2 ke luar negeri. Aku berharap dengan segala kemampuan yang dimiliki, bisa mengantarkanku menuntut ilmu ke negeri impian, Australia. Selain itu, aku berharap, sebelum studi S1 selesai aku telah memiliki bisnis yang bisa menjadikanku lebih mandiri dengan membiayai kuliah dengan hasil dari bisnis itu. Sepertinya mimpi itu begitu sempurna, namun seiring berjalan waktu, segala yang berjalan tidak sesempurna ketika mimpi itu lahir, melainkan ada kerikil tajam bahkan tak jarang batu besar yang membentur harapan dan semangat menggapainya. Ya Allah, adakah yang salah dari perjuanganku selama ini? Kini, aku hampir menyelesaikan studi S1, namun segala bisnis yang kucoba, jatuh bangun, bahkan terasa jatuh begitu dalam, aku seperti tak memiliki kekuatan untuk bangun. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Pintu gerbang menuju masa depan telah di depan mata, namun segala yang kurencanakan belum terlihat hasilnya. Umurku sudah mulai memasuki hampir seperempat abad, tapi hingga saat ini belum bisa memberikan apa – apa untuk orang tuaku. Aku masih seperti anak pada umumnya, kuliah dengan sepenuhnya biaya dari orang tua, padahal mimpiku ketika awal kuliah, di usia seperti ini aku sudah bisa membiayai kuliah dari hasil keringat sendiri, bahkan kalau bisa aku ingin membantu meringankan beban orang tua dengan memberikan sedikit penghasilanku. Tapi semua itu seakan menjadi bayang semu yang begitu samar, sulit tuk menggapainya meski butiran airmata tengah mengalir deras dalam perjuangan ini.
Ya Allah, dapatkah aku mewujudkan impian untuk bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri? Sedang ibuku tengah mengalami sakit, yang akupun tidak begitu paham dengan jenis penyakit apa yang dideritanya. Sudah hampir enam tahun, kaki ibu sulit digerakkan dan diluruskan, sehingga untuk berjalan beliau menggunakan tongkat sebagai bantuan. Kakakku sudah menikah dan tinggal di tempat rantauan, sehingga akulah harapan satu – satunya untuk menemani dan merawat ibu. Ayah memang masih ada, tapi ibu tetap membutuhkanku sebagai penghiburnya. Akupun tak tega meninggalkannya untuk pergi ke tempat yang jauh dan untuk waktu yang cukup lama dalam menuntut ilmu, sehingga aku harus tetap berada di kota ini, tempat kelahiranku sendiri, untuk menunaikan segala kewajiban sebagai seorang khalifah dan seorang anak tentunya. Tapi Allah, sesungguhnya engkau maha mengetahui, bahwa di balik sekat hati yang lain, ada harapan yang masih menggantung, ada impian yang masih tersimpan utuh, yakni melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aku bimbang, Allah. Duhai Allah, tunjukkan jalan terang itu. Aku yakin engkau lebih tahu yang terbaik bagiku. Aku berharap kesembuhan ibu, aku ingin melihat ibu berjalan normal seperti ibu – ibu yang lain. Aku ingin ibu bisa menikmati sisa hidupnya dengan senyuman tanpa beban, berjalan berkeliling ke tempat yang ia sukai dan menikmati berbagai makanan kesukaan tanpa ada larangan dari dokter akan kesehatannya. Aku ingin berjalan bersama ibu seperti dulu, mengelilingi kota sambil tertawa dan berpelukan, merasakan keceriaan ibu yang telah lama hilang. Ya Allah, yang maha Rahman, Adakah segala yang ku pinta akan terkabul? Bukankah tidak ada yang tidak mungkin jikalau engkau telah berkehendak? Kiranya engkau memberikan kesembuhan itu, agar akupun dapat belajar keras meraih beasiswa dan melanjutkan sekolah ke luar negeri, dengan begitu aku tak perlu khawatir meninggalkan ibu yang telah engkau beri kesembuhan. Dan dengan begitu juga aku bisa pergi ke negeri impian tanpa beban, meski berpisah untuk waktu yang cukup lama tetaplah menyisakan rindu yang menyayat hati, tapi dengan mengetahui bahwa ibu dalam keadaan sehat itu sudah cukup bagiku.
Apakah semua itu tinggallah angan, ya Rabb? Allah, aku tidak ingin berputus asa, karena aku tahu engkau tidaklah suka dengan umat yang berputus asa. Aku juga tak ingin berhenti berusaha karena aku tahu, bahwa engkau menjanjikan kemudahan dibalik sebuah kesulitan. Maka, ajari aku menapaki jalan terjal ini, hingga dapat ku gapai indahnya puncak yang tinggi dengan sabar dan syukur.
Ya Allah, mungkin selama ini aku belum berusaha dengan maksimal, sedangkan dalam hidup ini engkau telah mengajarkan untuk berusaha di atas rata – rata dalam mencapai sebuah tujuan. Seperti kutipan kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku “Iza shadaqal azmu wadaha sabil, kalau benar kemauan maka terbukalah jalan.” Saat ini impian itu ada, juga kemauan, maka aku yakin Allah, engkau pasti membukakan jalan, bukankah engkau sesuai prasangka hambamu?
Ya Allah, jika selama ini aku jauh dariMu, maka dekatkanlah. Sesungguhnya Engkau dekat, hanya saja aku yang menjauh dariMu. Mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan lain hingga sedikit waktu yang kuhabiskan bersamaMu, sepertiga malam yang engkau hadiahkan, seringkali kulewatkan begitu saja, padahal di saat – saat seperti itulah waktu yang tepat untuk mengadu dan meminta pertolongan.
Ya Allah, ampuni aku yang juga kurang sabar dalam menghadapi ujian dariMu. Mungkin sekarang belum saatnya aku melihat semua hasil perjuanganku selama ini, mungkin nanti, di waktu yang telah engkau tentukan. Ampuni aku karena begitu tergesa ingin melihat hasil, sedang usaha belum maksimal di atas rata – rata, sehingga membuat semangat meredup dan tidak sabar, padahal Engkau telah mengajarkan aku untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai pertolongan.
Ya Allah, ampuni aku yang tidak mensyukuri nikmat yang luar biasa yang telah engkau berikan dalam menggapai impian ini. Betapa tidak, hampir seluruh fasilitas telah tersedia, dari laptop, buku, jaringan internet, dan lainnya yang sangat membantu aku dalam belajar, dalam berjuang. Tapi aku seringkali terlena oleh kenyamanan ini dan melupakan kerja keras sebagai jalan menuju puncak. Padahal begitu banyak orang hebat yang telah membuktikan bahwa impian mereka bisa menjadi nyata, dengan fasilitas yang terbatas, bagaimana dengan aku? Seharusnya akupun dapat lebih berusaha dan membuktikan pada dunia bahwa aku mampu dan bisa menjadi orang hebat. Dan untuk menjadi orang hebat aku harus keluar dari zona nyaman, yakni berjuang keras, memanfaatkan waktu termasuk didalamnya sedikit tidur, seperti para ulama yang hanya tidur tiga jam dan menghasilkan karya yang luar biasa. Ya Allah, semoga dengan semua usaha yang telah dan akan ku lakukan dapat Engkau ridhoi dan dapat menjadi nyata, amien..
MIMPI
Kembali ku merajutnya di tengah kegalauan
keyakinan diri yang semakin menggoyahkan tekad
akankah impian menjadi nyata
sedang hari pun tak lagi menampakkan harapan
wujud waktu fajar seakan telah tenggelam
menjadi gelap malam yang kelam..

segala asa tak lagi terasah
oleh karena lingkaran aman
yang menyelimuti ketegaran
hingga terlanjur berdiam di zona nyaman

Sadarkah diri ini, bahwa
waktu takkan berulang
meski jasad tingallah tulang

Jangan biarkan penyesalan datang
di masa yang tak lagi berpeluang

maka,
kejarlah mimpi itu
dengan usaha maksimal di atas rata – rata
sampai impian menjadi nyata
hingga dunia yang dahulu mentertawakan
akan menjadi saksi
bahwa aku adalah diriku yang hebat dan luar biasa..
Manado, 14 Juli 2011

NZ..

Mungkin kaulah yg dikirimkanNya, pengganti sesuatu yang pernah hilang. Betapa sulitnya menjadi pendengar yang baik, seringkali kita lebih suka didengarkan daripada mendengar. Dan begitulah yang seringkali kualami. Sulit menemukan pendengar yang baik, teman berbagi, jikapun ada yang bersedia mendengar, maka itu hanya sebatas mendengar, tak ada masukan yang jelas, juga penyemangat. Aku tahu, semua itu karena kita disibukkan dengan urusan masing – masing, hingga pikiran tidak bisa fokus, apalagi mendengar keluh kesah orang lain.
Namun, tidak untukmu. Kau pendengar yang baik, juga inspiratif, kata penyemangat darimu selalu memiliki makna berbeda dari mereka pada umumnya. Bisa dibilang, kau cukup unik. Meski terkadang, kau kurang memiliki kepekaan, hingga apa yang dibicarakan tidaklah sampai ataupun sulit dimengerti, hmm 😦 .

Saat kepenatan mengekang pikiran, saat itulah candamu mengembalikan keceriaan yang hilang. Ya, karena kau mampu membuatku tersenyum 🙂

Terimakasih sudah menjadi temanku..

Cause Every Moment We Share Together
Is Even Better Than The Moment Before
If Every Day Was As Good As Today Was
Then I Can T Wait Until Tomorrow Comes

(Westlife)

Antara es batu dan secangkir teh hangat

“Gak ah, takut, kak Ratih horror sih”, “Ratih itu cuek sekali, orangnya kurang ramah, jadi harap maklum aja kalo bergaul sama dia”, “Kalo jadi dosen pasti Ratih itu dosen ‘killer’ ”, “Biar dia cuek, tapi hatinya baik, kok bu, ana kenal dia”, “ Ratih aja yang jadi ketua DP (dewan pertimbangan) dia kan tegas, biar adek2 yang lain dengar sama dia”, “ Jadi perempuan harus lemah lembut dan ramah, jangan cuek begitu Tih”, “Yaaa nanti gimana ada yang mau sama kamu kalo kamu begini terus, sikap dingin dan kadang jutek, mamah khawatir”.. dst..
Sobat, kutipan – kutipan di atas adalah kalimat dari Ibu, binaan dan temanku. Ada yang mengatakanku horror dan lain sebagainya. Jika dianalogikan mungkin aku seperti es batu yang dingin, keras dan beku.
Jika melihat kembali ke masa lalu, pengalaman dan didikanlah yang menjadikanku seperti es batu. Ya, pengalaman dari kecil hingga menjelang remaja dengan kehidupan yang luar biasa mengajarkanku untuk “keras” dalam menghadapi sesuatu. Ketika masih kecil aku sering dilarang main di luar rumah, katanya mainan di rumah sudah cukup, untuk apa main ke rumah orang (ke rumah teman), hanya merepotkan saja. Sewaktu di taman kanak – kanak, saat bel masuk sekolah belum berbunyi, aku yang sedang asyik bermain bersama teman, berlarian dengan ceria, ibuku datang dan menghantikanku, beliau melarangku berlarian, katanya nanti aku berkeringat sedang pelajaran sekolah belum dimulai, juga khawatir aku kan terjatuh hingga luka. Menginjak sekolah dasar, setiap ada tugas dari sekolah, aku tidak diperbolehkan bermain sebelum menyelesaikan tugas tersebut. Ayah dan ibu bergantian mengajariku. Satu hal yang masih lekat dalam memoriku, setiap tugas matematika, ayahku mengajarkan dengan suara yang keras dan nada yang tinggi, tak jarang ketika tugas selesai dikerjakan, aku menangis tanpa suara di kamar kecil tempatku menumpahkan segala yang berkecamuk di hati, dengan wajah yang ku sembunyikan dengan sebuah bantal kesayangan, dan suara tangis yang ku tahan agar tak terdengar oleh ayah ataupun ibu, khawatir mereka akan marah. Begitu juga saat hasil ujian diberikan pada orang tua, aku jarang mendapat pujian, sebagus apapun hasilnya. Hal yang membuat aku sedikit terluka, ketika sekolah menengah pertama, ketika namaku disebut di panggung sebagai juara kedua, ibuku tak mendengarnya, beliau sedang asyik berbicara dengan temannya, padahal hanya yang masuk dalam 3 besar yang orangtuanya berdiri di panggung dan menerima sertifikat penghargaan. Aku yang mendengar dari luar ruangan begitu gemas karena namaku yang di panggil berulang – ulang tapi ibuku tak jua naik ke panggung, hingga mereka mengira orang tuaku tidak hadir.
Selain hal itu, banyak masalah yang terjadi di kelurga yang menuntutku untuk menahan semua sakit, dengan sekali lagi, bersikap keras. Berbagai kejadian yang kualami selama ini, membawaku pada seorang Ratih yang dingin, keras dan beku. Seringkali aku menatap sesuatu atau seseorang tanpa ekspresi, juga sikap yang dingin. Mungkin saat ini sudah tak begitu terlihat, namun saat aku belum menginjakkan kaki di SMA, sikap kerasku mengalahkan es batu. Hanya saja saat kelas dua SMA, perlahan aku mulai belajar bagaimana tersenyum saat bertemu orang lain, mengajak berbicara, meski tak banyak, juga menjadi pendengar yang baik untuk beberapa sahabatku. Mungkin karena saat itu aku tengah menyukai seseorang, yang membuat hari kelabu menjadi biru muda bercampur pink, hingga es batu pun meleleh tersengat hangatnya mentari cinta. Ah cinta, selalu menyembunyikan banyak makna, bahkan mampu mengubah seorang yang keras sekalipun. Meski sudah berubah, toh hingga saat ini masih saja ada orang – orang yang segan dan takut padaku, kata mereka aku misterius atau ada juga yang mengatakan aku horror, kalau marah menakutkan.
Tapi ketahuilah sobat, meski aku terlihat dingin, aku memiliki banyak cinta yang bisa diberikan pada orang – orang terkasih. Bukankah cinta tak selalu harus diekspresikan dengan kata – kata puitis? Bukankah cinta memiliki makna tersendiri, yang hanya mampu dirasakan oleh pecinta sejati?
Ayah, Ibu, ketahuilah bahwa meski aku tak pernah mengatakan “Ratih sayang mamah dan papah”, tapi aku selalu memikirkan kalian. Menjadi anak yang solehah adalah bentuk baktiku pada kalian. Menghadirkan kalian dalam setiap munajat padaNya adalah keharusan yang selalu dan akan kulakukan, agar kita tak hanya bersama didunia ini tapi juga dipersatukan diakhirat, dalam surga.
Untuk binaan, teman, dan sahabat. Mungkin aku tak pernah menanyakan apa kalian baik – baik saja? Karena pertanyaan basa – basi itu bagiku tak perlu, aku bisa mengetahui apakah kalian sedang dalam masalah atau tidak, hanya dengan getaran, ya, getaran hati juga cara berekpresi kalian, dari situlah aku meraba dan merasa. Jikapun kalian ada masalah aku tak bisa memberikan kata – kata puitis, melainkan “action” untuk bisa membantu kalian lepas dari masalah itu.
Untuk Murobbiku, maafkan aku yang kadang berbicara denganmu. Bukan karena aku tak percaya padamu sebagai pemimpinku, hanya saja aku jauh lebih nyaman berbicara lewat tulisan, entah mengapa dihadapmu aku tak bisa berkata – kata banyak apalagi berbicara mengenai masalah yang ingin ku bagi.
Sobat, biarkan waktu yang mengajariku bagaimana menjadi sesuatu yang hangat seperti secangkir teh. Jika memang ekspresi kasih sayang tak cukup tanpa kata – kata indah, maka ajari aku bagaimana memanggilmu dengan panggilan sayang dan cinta.
Sobat jangan segan dan takut menjadi bagian dari hidupku, karena es batu tak selamanya membeku, perlahan tak lagi keras bahkan mencair oleh suhu yang membuatnya hangat. Dan biarkan es batu itu mencari wadah tempatnya berteduh dan gula sebagai pamanis hingga menjadi secangkir teh hangat, minuman penenang hati yang gersang…
Manado, 19 Juni 2011

Sketsa Jiwa

Usai shalat magrib, almatsurat dan tilawah ayah berdiri di belakangku sambil memegang kepalaku dari belakang, seperti ingin membelai. Oh Ayah,, mungkin kau tengah merasakan segala yang terjadi pada diriku. Ya Ayah, kau tahu bahwa aku sedang kehilangan sesuatu yang selama ini berarti dalam hidupku, sesuatu yang selama ini ku miliki, rasanya perih akan kehilangan itu. Didunia ini hanya Ayah, ibu, kakak, juga seorang teman (biasa ku sebut Nazi) yang mengetahuinya.
Tenang saja ayah, aku tak kan menangis lagi. Mungkin lebih tepatnya tidak menangis di hadapanmu. Ayah, Ibu, kalianlah yang ku punya saat ini. Tempat ku mengadu selain Allah. Bukankah sekarang aku telah tumbuh dewasa? Tangisku tak lagi meledak – ledak seperti dulu ketika seekor angsa peliharaanku hilang ataupun mati. Tangisku tak lagi meledak seperti dulu, ketika aku gagal mendapat beasiswa malanjutkan sekolah di Bakrie school. Tangisku tak lagi meledak seperti dulu, ketika berebut mainan dengan kakakku. Ya, tangisku tak seperti dulu, karena aku bukan Ratih yang dulu, yang kemana saja harus dengan ibu, ditemani, dan dimanja. Sejak Ibu sakit sekitar 4 tahun yang lalu aku belajar mandiri, memaksakan diri untuk dewasa meski belum waktunya. Hanya saja aku bukan malaikat yang tak pernah terluka, aku tetaplah manusia, seorang wanita yang memiliki rasa yang halus. Ketika sesuatu melukaiku tak tahan airmata jatuh begitu saja, bahkan seringkali ku endapkan wajah di balik bantal agar tak satu pun anggota rumah yang mendengar dan mengkhawatirkanku, termasuk engkau Ibu, Ayah. Tapi mencurahkan segalanya pada mereka adalah hal melegakan, bahkan mereka mungkin mendoakan agar masalah itu bisa ku hadapi dengan tegar dan menggantikan sesuatu yang hilang itu dengan yang lebih baik. Dan kuharap begitu adanya.
Mulai sekarang aku janji padamu Ayah, tak kan menangis lagi. Aku adalah wanita yang tegar, dan yakin akan sebuah kebaikan yang di janjikanNya. Mulai sekarang aku janji padamu Ibu, aku tak kan sedih lagi meski kehilangan sesuatu yang berarti. Aku adalah anak Ibu yang kuat. Hanya saja beri aku waktu tuk memulihkan segala kepedihan ini, biarkan aku sendiri, usah membahas segala yang telah terjadi. Biarkan aku mengikis masa kelabu ini dengan kerja kerasku, dengan segala kesibukannku. Terma kasih atas segala doamu Ibu, aku yakin Allah yang maha penyayang selalu mendengar doamu, doa kita semua.

Kerang Mutiara

Salahkah jika seorang yang kuat pun bisa kecewa bahkan terluka?
Rasanya terlalu naïf jika ada yang berpikir bahwa orang yang selalu kuat itu tidak pernah terluka, mereka menyebutnya “Tahan banting”. Seorang yang kuat sekalipun ia motivator hebat sejagat tetaplah manusia biasa yang memiliki fitrah untuk melewati berbagai rasa bukan terbatas pada kebahagiaan tapi juga kesedihan, bukan hanya semangat tapi juga sesekali bisa jatuh karena kecewa.
Sobat, kau pernah melihat mutiara? Atau kau memiliki mutiara (yg asli ya) ? Indah bukan? 🙂
Layaknya sebuah kerang dilautan, untuk menghasilkan sebuah mutiara yang indah sang kerang harus melewati hari yang penuh perjuangan. Setiap kali ombak dan pasir yang masuk dan keluar pada kerang dirasa begitu sakit. Ombak yang bergelombang juga tak jarang ada badai. Namun akhirnya butiran mutiara lahir dari sebuah kerang yang berusaha bertahan dengan pasir dan ombak itu. Dan mutiara itu begitu indah tak kalah indah dari hiasan laut lainnya, bahkan harganya mahal.
Seperti itulah sebuah kehidupan, seorang anak manusia. Ia tumbuh kuat dan tegar bukan tanpa ujian. Ia kuat bukan tanpa kecewa yang dilewatinya dan ia tegar bukan tanpa luka yang dilaluinya. Semua datang silih berganti. Bukan berarti kita tidak boleh kecewa atau terluka, bahkan kita boleh saja marah akan suatu hal yang memang tidak bisa ditoleransi lagi, hanya saja bagaimana kita menempatkan marah, kesedihan dan kecewa pada porsinya yakni tidak berlebihan. Marah pada batasnya. Dan satu hal yang perlu kita ingat sobat, bahwa kita boleh membenci dan marah karena Allah. Bukanhkah ketika kita mencintai harus dilandasi oleh cinta karena Allah? Maka ketika membenci pun karena Allah, marah karena ada hal – hal yang tidak sesuai ajaranNya. Tapi Sobat, yang harus kita benci bukanlah semata orang pelaku maksiat melainkan perbuatan maksiat.
Dan semoga apapun yang kita alami sekarang dapat kita lewati dengan penuh kesabaran dan kecintaan karenaNya untuk bisa menjadi mutiara indah dalam episode kehidupan ini.. 🙂

si kecil :)

Si “KeCiL”
Kaulah yg menemani saat – saat tugasku menumpuk,,
Kau setia menungguku hingga tugasku selesai,, bahkan seringkali kau menyanyikan nasyid2 faforitku..
Begitupun di saat ku sedih,,
Kau hadir membawa aneka cerita, dari fiksi hingga non fiksi…
Kau pun mampu memberi taujih ku,, lewat sejuta kalimat yang kau simpan dalam memorimu..
Sesekali ketika ku jenuh kau mengajakku bermain..
Akupun bebas memilih permainan apa yg ku ingin kan, dan kau pun pasti mengiyakannya..
Ketika ku rindu dengan teman2ku yg lain,, kau tak pernah cemburu,,
Bahkan kau yg menyimpan foto2 mereka dan memberikan padaku..
Aku bebas bercerita apa saja denganmu, kau selalu siap menyimak walau kadang ku kesal kau tak meresponnya..
Mmmhh,, kau begitu setia menemaniku,,
Sepanjang tahun ini..
Jadi ingat pertama kali kau hadir..
Betapa senangnya aku di beri “si kecil” tuk menemani perjuanganku..
Kakakku yg memberikannya sekitar beberapa bulan yang lalu..

Si kecil itu adalah..
Eng ing eng..
Ups, penasaran ya??
Sabaaaaaarrr..
Si kecil itulah laptopku.. berukuran kecil namun begitu banyak kontribusi bagi perjuanganku menuntut ilmu..
Hehehe… ^^

Teman..

Teman..
tanpamu tentu dunia ini sepi,
tak ada yang bisa memberi senyuman, cerita, ataupun teguran dikala jiwa mulai rapuh..

Teman..
hadirnya seringkali tak begitu terasa,
namun ketika kata berpisah terucap terasa begitu pedih dan sulit menerimanya..

Teman..
membuat dunia lebih berwarna,,
tanpamu mungkin dunia kan terasa sempit dan kelabu..

Teman..
aku butuh teman…
dimanapun, kapanpun sampai kapanpun…